CERPEN: CINTAKU MENDARAT DI HIJAB
Masa terakhir putih abu-abu membawaku menuju titik perubahan yang begitu berarti. Titik perubahan menuju pribadi yang lebih baik. Menuju pribadi yang lebih merasa terlindungi. Hijab dan hidup indah tanpa seorang pacar.
Satu tahun yang lalu, ketika aku duduk di kelas 11 dan hari-hari sebelum itu aku bukanlah orang yang taat agama. Hobiku sendiri adalah selfie dengan pakaian-pakaian pendek dan malas sekali memakai hijab. Padahal setiap pergi sekolah, aku selalu mengenakan hijab. Ya, semua itu karena kewajiban. Sekolahku mewajibkan setiap siswa untuk menutupi kepala dengan kain yang terkadang memang sedikit menggerahkan itu.
Andai sekolahku sama seperti sekolah-sekolah di Jakarta, membebaskan siswanya dalam masalah berpenampilan. Andai dan andai. Itulah hal yang selalu membuatku iri. Membuatku jengkel dengan keadaan dan benci pada tempat tinggalku yang tidak termasuk ke dalam kota-kota besar sepeti Jakarta, Bandung, Palembang dan Surabaya. Aku ingin sekali bebas dari hijab seperti mereka yang tinggal di kota-kota besar. Aku ingin pergi sekolah dengan rambut terurai panjang, diikat dengan jepit yang berwarna-warni, ganti-ganti model dari keriting menjadi lurus ataupun menjadi ikal dan memamerkan keindahannya pada semua temanku.
Aku memang tidak bisa untuk tidak memakai hijab ketika di sekolah. Tapi aku bisa menjauh dari hijab ketika aku berada di sekitar rumah dan lingkungan sekitar rumahku. Selfie sana-sini dengan berbagai macam gaya. Memamerkan wajahku yang ‘katanya’ manis dan tak lupa ku unggah di sosial media nomor satu. Teman-teman facebook-ku memberikan komentar terhadap foto yang kuunggah tadi. Ada yang memberikan tanggapan positif seperti “Poninya bagus”. “Ih lucu deh, jadi gemes”. Aku senang sekali membacanya, tapi saat kutekan navigasi bawah ponselku menuju komentar terakhir, ada salah satu teman sekelasku berkomentar yang cukup membuatku jijik dengannya, “Cantik kamu Cus, tapi lebih cantik lagi kalau kamu menutup auratmu”.
Sok alim. Sok suci. Aku berontak. Atas dasar apa dia berkata seperti itu? Mungkin dia kurang update dan kurang gaul. Aku melampiaskan dan menjelek-jelekannya di akun twitterku karena memang dia jarang membuka akun twitternya. Akupun bercerita pada pacarku kala itu, dia membelaku. Dia mengatakan aku cantik jika tak berhijab. Hari-hari di sekolahku tak pernah lebih berwarna. Aku semakin benci untuk sekolah. Benci untuk memakai hijab dan lebih benci lagi bertemu teman sok alim yang menggeluti ektrakurikuler Ikatan Remaja Masjid itu. Dia sering sekali menyapa dan menorehkan senyumannya, tapi aku hanya membalasnya dengan “fake smile” andalanku.
Hingga tiba disuatu masa, hari Jumat di saat mentari mulai menampakkan sinarnya di pagi hari kelas 12, guru Pendidikan Agama Islam-ku bercerita mengenai aurat. Beliau mengulas banyak tentang aurat, beliau menceritakan segala akibatnya jikalau kita tidak menutup aurat ketika umur tak lagi balita. Ada satu perkataan beliau yang begitu penuh makna mendengung di telingaku, “Ketika kita tidak menutup yang namanya aurat, kita memang cantik di mata manusia tapi itu tidak cantik di mata Allah SWT”. Aku terkesima dengan segalanya. Tapi aku tak langsung begitu berubah. Aku masih perlu pencerahan mengenai semua itu.
Satu bulan, dua bulan hingga tiga bulan berlalu. Malam hari ketika adzan isya berkumandang, aku bertanya pada pacarku melalui sms tentang apa pandangannya mengenai aurat dan bagaimana jika suatu hari aku pergi dengannya dengan pakaian serba tertutup. Ia menjawab, “Kalo kamu berubah, lebih baik kita putus”. Aku yang tak ingin putus meminta maaf padanya. Aku meminta agar ia tidak marah lagi padaku.
Malam semakin larut, aku terlelap dalam tidurku. Ketika jam dinding di kamarku menunjukan pukul 01.00 suara motor bising membangunkanku. Aku teringat dengan segala hal dalam kehidupanku. Perkataan guru PAI tentang aurat saat tiga bulan yang lalu itu, komentar temanku yang menjengkelkan itu dan sikap pacarku yang tak mendukung aksi perubahanku. Kuraih ponselku, kutelusuri semua hal yang dibenakku pada laman http://google.com/. Hatiku terenyuh, jantungku berdetak semakin menjadi ketika aku membaca artikel islami. Tak kuasa airmataku pun ikut menetes membasahi layar HP.
Minggu pagi, aku pergi jalan-jalan menelusuri kota Tasikmalaya bersama pacarku. Ketika jam ditangan menunujukan pukul 11, aku meminta izin untuk pergi ke toilet karena kebelet buang air kecil. Masjid tepat di pandangan, aku turun dari motor biru pacarku. Ketika aku memfokuskan pandanganku ke dalam masjid, banyak sekali para remaja sedang menuntut ilmu disana. Ternyata ada kegiatan ceramah dari seorang ustadzah bertajuk aurat, hijab, dan cinta. Aku berdiri terpaku di pintu mesjid satu sampai lima menit. Ketika menuju menit ke enam, aku mulai duduk. Sepuluh menit, dua puluh menit hingga tiga puluh menit tak terasa aku ikut mendengarkan ceramah sang ustadzah itu. Kuserap segala pengetahuan tentang kewajiban menutup aurat, haramnya pacaran dan indahnya surga untuk orang-orang yang menjaga kehidupan duniawinya. Kusadari segala dosa. Kusadari segala sifat burukku. Berderai air mataku. Aku menyesali segalanya. Aku tak kuasa lagi. Aku menangis. Aku merasa buruk sekali, aku memiliki pacar, aku membenci hijab, aku benci temanku. Aku ingin menjerit. Maukah Allah mengampuniku? Maukah Allah memaafkanku? Maukah Allah membukakan pintu surganya untukku?
Ketika orang-orang bubar meninggalkan mesjid, ku hampiri ustadzah itu. Ku ceritakan segalanya disertai isak tangis sesalku. Beliau menenangkanku, memberiku nasihat dan sedikit pencerahan untuk jiwa rohaniku. Hatiku terbuka. Hatiku pun menjadi lebih tenang.
Pulang dari kegiatan itu, aku malas sekali membuka ponselku. Saat malam tiba, pacarku menelponku, ia berkata “Maaf ya tadi aku ninggalin kamu, abis kamu lama sih”. Aku terdiam sejenak, ia tidak berpikir kalau saat di masjid ia terburu-buru pergi karena disana ada juga kekasih hati lainnya yang rumahnya dekat sekali dengan letak masjid itu. Ia tidak berpikir selama ini aku selalu memperhatikannya. Ia yang selingkuh, ia yang membagi cinta monyetnya. Melawan segala rasa yang tertanam di hati diawali dengan mengucap basmalah dalam hati kuberanikan lisan ini untuk bicara, “Iya gapapa kok, aku juga minta maaf, kita lebih baik putus.” Kututup ponselku. Airmataku berlinang tapi aku akan tetap teguh dengan pendirianku untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Kuputuskan untuk tak memiliki pacar lagi dan istiqomah dengan hijab ini. Bismillahirrahmaanirrahiim. Itulah hal luar biasaku yang tetap ku pertahankan sampai saat ini. Semoga Allah SWT selalu merahmatiku.
Suci Nurzannah Efendi, siswi kelas 3 SMK Negeri 1 Ciamis. Biasa dipanggil Icus/Uci. Lahir pada tanggal 09 Januari 1997. Saat ini sedang belajar menjadi pribadi yang lebih baik. Sekarang aktif menulis untuk menggapai mimpinya menjadi seorang penulis dan sesekali main facebook/twitter. Contact dan follow twitternya, @sucikrsma atau buka blogsisuci.blogspot.com.
Komentar