CEWEK VS BULU KETEK



"Gue pengin sebahagia itu ketika melihat ketek gue," Icus.




CEWEK VS BULU KETEK



Sebuah berita terbaru seputar dunia sekolah memang selalu menarik perhatian banyak orang. Apalagi orang yang memberitakannya itu bisa dibilang profesional, karena berita tersebut selalu atas dasar fakta yang terjadi, bukan gosip belaka. Syafa (18 tahun, nama disamarkan) adalah teman kelas gue yang berkacamata dan agak gemuk ini adalah Ratu Update. Dia adalah orang yang paling update di kelas gue, teman-teman di kelas lainnya juga banyak, dari sanalah dia mendapatkan segala gossip update terbaru tentang siswa-siswa di sekolah.

Hari itu, gue baru masuk ke kelas.

“Eh-eh. Kalian tau gak?” tanya Syafa mulai merumpi.

Gue yang baru datang menjawab sendiri, “Tau”

“Apaan?” timbal Syafa dengan tatapan sinisnya.

“Enggak tau,” jawab gue sambil cengengesan.

Syafa menatap kesal pada gue, gue hanya tersenyum tanpa noda padanya. Gue merasa tersisihkan keadaan dalam kelas itu.

“Cowok-cowok itu gak suka kucing, loh” lanjut Syafa pada teman sekelas yang sedang berkumpul menanti gosip terbaru darinya.

“Loh, kenapa?” tanya salah satu teman gue.

“Karena kucing itu berbulu. Namanya laki itu gak suka sama yang berbulu. Coba lihat deh artis-artis cowok di TV, kebanyakan gak memelihara kucing, kan?”

Teman-teman gue mengangguk.

“Nah, karena itu juga mereka gak suka sama cewek yang berbulu. Kakinya berbulu panjang-panjang, bulu ketiaknya gak pernah dicukur. Ih, udah, deh, cewek yang kayak begitu gak bakalan dapet cowok,” Syafa menjelaskan.

“Ya ampun, gue harus cukur bulu ketek, dong” ujar salah satu teman gue.

Gue yang dari tadi menguping merasa geram sekali dengan apa yang dikatakan Syafa. Gue sangat tidak setuju dengan segala pernyataannya, karena tidak semua cowok itu tidak suka cewek yang berbulu, tidak semua cowok tidak menyukai kucing. Buktinya Raditya Dika suka sama kucing. Rasanya gue ingin menghentak meja dan berteriak.

“Woi!” Sukmin mengagetkan gue.

“Ih apaan sih?” gue sedikit kesal.

“Pagi-pagi udah ngelamun, ngelamunin apa lo?” tanya Sukmin dengan polosnya.

“Enggak. Itu, hmm, kucing tetangga gue kemarin hamil. Gue bingung aja siapa yang ngehamilinnya," jawab gue bohong.

“Pffft, gila lu yang gitu aja dipikirin,” tandas Sukmin. (Ini namanya disamarkan ya, untuk privacy nama karena ada hal buruk yang dilakukan Sukmin).

“Lah, emang kenapa?” tanya gue penasaran.

“Lo gak tahu yang ngehamilin siapa?” gue menggeleng kepala seolah mengisyaratkan ketidaktahuan, “Gue yang hamilin kucingnya, Ci, gue,” lanjut Sukmin

Gue tertawa kecil memandang muka kesalnya. Sukmin tidak akan mengerti apa yang sebenarnya gue pikirkan karena gue enggan memberitahunya. Selain itu karena dia adalah seorang cowok, gue masih ragu cowok seperti dia akan paham dengan apa yang cewek rasakan. Apalagi mengenai hal yang begitu serius, bulu.

***

“Cuma sedikit cowok yang suka kucing, berarti mereka gak suka bulu, berarti juga mereka tidak suka cewek berbulu ketek?” gue galau sendiri bertanya-tanya dalam hati.

Berbicara mengenai hal ini, gue fokus ke bulu ketek. Seumur-umur, selama delapan belas tahun dalam sejarah kehidupan gue, gue tidak pernah mencukur bulu ketek. Ada ketakutan dan kebingungan sendiri yang sangat tertanam kuat dalam pribadi gue. Sepanjang pelajaran, gue terus memikirkan bulu ketek gue yang tidak pernah dicukur. Sesekali gue mencium ke arah ketek gue, bau asam. Mungkin ini juga sebabnya mengapa harus mencukur bulu ketek, yaitu menghindari keasaman.

Ketika jam pulang sekolah, gue yang duduk tepat di belakang bangku Syafa sibuk sendiri membereskan segala peralatan belajar. Seorang teman gue menghampiri Syafa. Lagi-lagi gue menguping.

“Syafa, nanti pulang sekolah gue mau cukur bulu ketek ah,” kata Selli sedikit berbisik pada Syafa.

“Ide bagus tuh, Sel”

“Gue juga mau cabutin bulu kaki, ah” kata sahabat gue yang lain, Dinda.

“Keren-keren!” Tanggap Syafa.

Gue mendehem, “Ehm, pulang bareng yuk, ke gerbangnya.”

Kami pun pulang bersama menuju gerbang, termasuk Syafa. Syafa terus saja berbicara soal bulu ketek. Selli dan Dinda mendengarkan dengan seksama. Gue hanya terdiam, kayak pemeran pembantu dalam film-film layar lebar. Namun sebenarnya gue adalah pemeran terpenting, karena gue yang mengajak pulang bersama.

***

Sesampainya dirumah, aktivitas yang gue lakukan setelah mengganti pakaian adalah tiduran di samping Mama yang sedang tiduran sambil menonton berita. Mama tidur dengan posisi tangan dibelakang kepala, sehingga ketiaknya terlihat. Niat gue untuk menenangkan pikiran setelah disibukkan dengan ketek berbulu malah tumbuh menjadi suatu pertanyaan mengenai ketiak.

“Ma..”

“Ada apa?” tanya Mama.

“Kok ketiaknya cuma sedikit bulunya?” Tanya gue.

“Iya, dong. Gak bau asem kayak punyamu juga, ya, kan? Mama kan suka pake Rexona”

“Deodoran, Ma”

“Sama saja”

“Tapi yang dipake mama bukan merk Rexona”

“Sama saja”

Gue beranjak pergi, kini menghampiri kakak di kamarnya. Dia sedang menelpon.

“Iya, nih, risih banget bulu itu geli,” kata kakak cewek gue berbicara dengan HP-nya.

“Oh, iya iya, besok bawa alat cukur lo, deh” tambahnya

“Iya nanti gue liat.”

“Oke, sampe besok. Waalaikumsalam” tutupnya.

Kali ini menguping menjadi hobi gue, bahkan gue bisa dibilang ahli karena gue selalu mengerti apa yang dibicarakan. Gue mulai angkat bicara untuk bertanya sesuatu pada kakak gue, mungkin dia akan mengerti, apalagi sama-sama seorang cewek.

“Kak, bulu keteknya abis dicukur ya?” Tanya gue.

“Hah?” Tanyanya seolah tidak mengerti dengan apa yang gue tanyakan.

“Iya, aku mau nanya, dicukurnya pake apaan? Sakit gak?” Gue semakin kepo.

“IH APAAN SIH!” Kesalnya.

Jebret, dia menutup pintu kamar dengan urat serta raut yang sedikit kesal. Gue bingung, apakah pertanyaan gue salah? Ya sudahlah, malas sekali rasanya bertanya pada kakak yang tidak mengerti permasalahan adiknya. Ditanyain baik-baik malah seperti itu. Padahal hanya ingin tahu saja untuk wawasan kedepannya. APAKAH SALAH HAMBA YA TUHAN?

Gue berjalan menuju kamar untuk menenangkan diri, namun terdengar lagu Cherrybelle di lantai kedua. Ya, tepat dari kamar abang.

“Aha! Kenapa gak tanya sama abang aja?” pikir gue semangat.

Gue berjalan mencapai anak-anak tangga menuju kamarnya. Setelah sampai di pintu kamarnya, gue tidak langsung membuka pintunya tapi mengintip dari jendela terlebih dahulu. Gue takut mengganggu aktivitas atau bahkan aibnya. Bisa saja abang lagi joget lagu “You are beautiful, beautiful, beautiful.”

“Aduh, kenapa gak kelihatan, sih?”

Tidak ada celah untuk mengintip lewat jendela. Akhirnya, gue buka saja pintunya perlahan-lahan seperti pencuri dengan mata tertutup satu. Gue terkejut melihat apa yang tampak. Abang tidak sedang joget, ia tertidur. Tepatnya tidur tanpa memakai kaos dan ketiak terbuka lebar menyangga kepala. Bulu ketiaknya begitu lebat seperti hutan di perairan Masalembo.

“WOOOOOW!!!” Gue terkejut.

Suatu sejarah dalam kehidupan melihat ketiak seperti demikian. Gue tidak pernah cukur ketiak sepanjang hidup namun tidak selebat itu. Apakah abang gue memakai penyubur bulu ketiak? Apakah abang rajin meribonding ketiaknya? Apakah abang tidak takut bulu ketiaknya yang lebat itu di gigit kucing? Gue mengurungkan niat untuk bertanya-tanya tentang ketiak pada abang. Gue takut malah dikasih obat penyubur ketiak.

***

Suasana di kelas tidak seramai kemarin. Mungkin karena tidak ada berita baru. Syafa juga terlihat duduk saja sambil memainkan telepon genggamnya. Tidak ada seorang siswa yang mengajaknya berbicara, padahal kemarin dia dikerubungi seperti artis. Selli terlihat berjalan dengan tangan yang sedikit aneh. Gue menghampirinya dengan penuh tanda tanya.

Selli seolah tahu pertanyaan yang akan gue tanyakan, dia langsung bercerita, “Nyesel gue, Ci. Harusnya gue nanya dulu, akhirnya kan gak bakal jadi kek gini.” ungkap Selli pada gue.

Gue bingung, “Lah? Emang lo ngapain?”

“Lo gak tahu? Padahal gue nulis di PM gue trus dijadiin DP fotonya," jelas Selli.

“Hm.. BBM gue gak aktif, emang kenapa?” tanya gue penasaran.

“Ketiak gue berdarah!”

Gue kaget, “HAAAAHHH? KOK BISA?”

"Nyukur bulu ketek," jawabnya lagi.

"Kok berdarah?" Gue semakin melongo.

"Gue cukurnya pake SILET," jawab Selli.

Gue terdiam sejenak. Antara ingin ketawa namun kasihan menyelimuti mulut gue. “GOBLOG AMAT SI LU! SEJAK KAPAN ADA YANG CUKUR KETIAK LANGSUNG PAKE SILET?” namun sebagai sahabat yang baik, gue gak bisa bilang seperti demikian.

Hanya tiga kata yang terucap dari mulut gue, “Ohh gitu, ya,” disambung dengan cengengesan khas gue. Namun mulut gue gak tahan, akhirnya gue lanjut bilang, “KENAPA GAK PAKE PISAU AJA SEKALIAN?”

Reaksi Selli berubah seketika, terlihat menjadi lebih sebal dan lebih ganas. Gue langsung melihat ke sekitar, untung tidak ada benda tajam seperti silet dan pisau. Kalau ada silet/pisau pasti hidup gue akan berakhir di dalam kelas, lalu akhirnya kelas jadi angker dan gue gentayangan setiap pagi menakut-nakuti teman-teman yang masih hidup di kelas. Oke, ini sinetron banget.

Mata gue terus melihat ke sekeliling, ada pensil tepat dekat dengan tempat Selli berdiri. Gue langsung mengambilnya, “Ah.. ini punya gue. Hehehe”. Padahal di pensil tersebut tertera sebuah nama, DINDA.

“NYESEL GUE NYESEL, KAKI GUE BENGKAK!!!” Dinda, sang pemilik pensil sesungguhnya baru saja datang dan langsung menghebohkan kelas. Belasan pasang mata menuju padanya.

"Kaki gue sakit-sakit," cerita Dinda.

Dia melanjutkan, “GUE NYUKUR KAKI PAKE LAKBAN”.

Gue menelan ludah, dua orang sahabat gue, otaknya sedang dalam keadaan yang kurang baik. Dinda yang mencukur bulu kaki menggunakan lakban serta Selli yang mencukur bulu ketiak menggunakan silet benar-beda aneh dan konyol. Namun, percaya atau tidak, mulai dari pagi gue memiliki niat untuk mencukur bulu ketiak gue pulang sekolah. Kasus bulu ketiak Selli dan Dinda tidak mengurungkan cita-cita gue untuk mencukur bulu ketek pertama kalinya dalam hidup.

Sepulang sekolah, tanpa pengalaman dan pengetahuan yang cukup gue mencukur bulu ketek di kamar mandi, sendirian. Gue ambil alat pencukur jenggot Papa di atas pintu kamar mandi. Gue melawan segala bau asam yang tercium saat itu. Gue benar-benar ingin merasakan hidup tanpa bulu ketek. Cukup lama gue berada di dalam dengan aroma bulu ketek yang tak seperti biasanya, akhirnya gue keluar sambil kegirangan berteriak dengan girangnya.

“MAHH? PAAA? KAKKK?”

“Iya???!!!!”

“KETIAK AKU GAK ADA BULUNYA. KETIAK AKU GAADA BULUNYA” Sambil memamer-mamerkan ketiak.

Pada hari itu gue sangat bahagia, bahagia seolah mendapatkan dunia baru dan mulai menghapus yang lama, dunia dimana artis-artis di televisi tak malu mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke atas. Inilah hidup gue saat ini, hidup tanpa bulu ketek. Bulu ketek yang membuat ketiak terasa asam itu telah pergi. Bulu ketek pencemar hidung itu telah sirna.

Menemukan sesuatu yang baru memang menyenangkan. Namun ketahuilah, selalu ada ketidaknyamanan setelahnya. Bulu ketek yang mulai tumbuh membuat ketiak sedikit gatal. Ketiak gue tertusuk-tusuk bulu yang baru tumbuh. Disitulah, kadang gue merasa sedih. Habis cukuran, terbitlah tusukan-tusukan.




Suci Nurzannah Efendi, mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Siliwangi. Lahir pada tanggal 09 Januari 1997. Saat ini sedang aktif menulis baik cerita pendek maupun berita. Penulis juga merupakan anggota Unit Kegiatan Pers Mahasiswa Unsil. Contact dan add akun linenya dengan ID sucineee/  follow  instagram @icusechan.

SALAM KETEKKKKK!!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

YEL-YEL PRAMUKA

TUGAS KEWIRAUSAHAAN